KAMPUNG KANEKES
"sebuah catatan perjalanan"
Desa Kanekes, Banten. Perjalanan ini merupakan perjalanan keduaku menelusuri alam Kanekes (Baduy) dengan ditemani beberapa teman dari Mahasa Pecinta Alam dan Fotografi. Perjalanan pertama sudah kulakukan pada tahun 2004 bersama beberapa teman perkuliahan untuk melakukan riset singkat disana. Perjalanan kali ini merupakan perjalanan yang cukup singkat, yaitu 2 hari 1 malam. Namun perjalanan ini memberikan pengalaman yang berbeda dari perjalanan pertamaku.
Perjalananku dimulai dari stasiun Serpong untuk menuju Rangkas Bitung. Jadi kita berangkat dengan kereta jurusan Merak yang terjadwal pukul 8.30 pagi, kereta yang cukup murah (cuma Rp.4000,- per orang) tapi cukup bersih dan nyaman. Kami tiba di stasiun Rangkas Bitung sekitar pukul 10.00 pagi. Perjalanan dilanjutkan dengan angkutan umum menuju terminal “Aweh”, dan kemudian menggunakan kendaraan ELF dari terminal “Aweh” menuju desa Ciboleger, yaitu desa yang menjadi pintu gerbang memasuki desa Kanekes (Baduy). Sedikit informasi, kalau pergi ke desa Kankes secara rombongan (pada saat itu kami 14 orang) lebih baik sewa ELF secara borongan, selisih biaya tidak terlalu banyak dari bayar per orang, tapi perjalanan menuju desa Ciboleger akan lebih cepat dan nyaman karena kendaraan tidak mengambil penumpang di tengah jalan. Perjalanan menuju desa Ciboleger memakan waktu kurang lebih 1 jam.
Bercengkrama menanti kereta menuju Rangkas Bitung
Kami menginjakkan kaki di desa Ciboleger kurang lebih pukul 11.30 siang. Cuaca saat itu cukup panas dan mulai berawan, kami berharap tidak akan turun hujan, karena medan yang akan ditempuh bukan medan ringan. Setelah menurunkan semua barang dari kendaraan kami bergegas menuju rumah salah satu pemandu perjalanan kami nantinya, yaitu bang “Amir”. Dia adalah salah satu penduduk baduy luar, yang biasa mengantarkan tamu untuk menjelajah desa Kanekes (Baduy).
Sesampai di rumah bang “Amir” kami disambut dengan ramah dan dipersilahkan bersitirahat di serambi depan rumah kayunya. Suasana sejuk hutan yang menaungi desa Kanekes (Baduy) sudah dapat kami rasakan, begitu juga perut kami sudah merasakan lapar, karena sudah waktunya makan siang. Tapi kami tidak perlu khawatir kelaparan, karena banga “Amir” telah mempersiapkan hidangan makan siang ala Baduy. Menu yang sederhana (nasi+sayur+tempe+tahu+sambal khas Baduy) tdiak bertahan lama karena langsung disantap habis oleh kami. Nikmatnya menikmati hidangan sederhana ditemani kebersamaan di desa Kanekes (Baduy). Makan siang ditutup dengan minuman hangat jahe merah. Minuman jahe merah adalah salah satu minuman tradisional di desa Kanekes (Baduy) untuk memberi kehangatan dan memulihkan stamina.
Berkumpul di rumah bang "Amir"
Setelah cukup istirahat dan perut terisi, serta tidak lupa mendapatkan ijin dari salah satu pemuka adat (Jaro) kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju desa“Gazebo”, yaitu salah satu desa Baduy luar dan merupakan perbatasan antara Baduy luar dengan Baduy dalam. Perjalanan menuju desa “Gazebo” tidak kami sia-siakan untuk mengabadikan momen-momen yang kami temui sepanjang perjalanan di perkampungan Baduy luar. Karena hanya di wilayah Baduy luar sajalah kita diijinkan mengambil gambar. Kami menyusuri jalan-jalan setapak tanah dan berbatu, naik turun bukit, melewati selasar-selasar kampung dengan rumah-rumah panggung kayu sederhana yang berderet rapi dan terlihat menyatu dengan alam. Sebuah gambaran kesederhanaan hidup yang sangat indah, dan sangat jarang kita temui. Aktivitas penduduk tidak hanya dilakukan oleh usia dewasa, namun pada usia muda pun mereka sudah giat bekerja, sebuah semangat dan harmoni hidup yang sangat langka.
Memulai perjalanan menuju desa Gazebo
Salah satu sudut kampung Baduy Luar
Perjalanan menuju desa “Gazebo” memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan berjalan kaki. Sekitar pukul 14.30 sore kami sampai di desa “Gazebo”. Perjalanan 2 jam yang tidak ringan bagi kami namun akan selalu memberikan pengalaman yang tidak terlupakan. Di desa “Gazebo” inilah kehidupan sore sampai pagi akan kami nikmati. Kami mulai meminta ijin untuk tinggal di salah satu rumah penduduk selama satu malam. Setelah mendapatkan ijin untuk tinggal kami bergegas bersiap untuk membersihkan diri, disinilah kami harus bisa menyatu dengan alam, hanya ada sungai dan sumber air bersih terbuka untuk dapat kami manfaatkan membersihkan diri, lagi-lagi pengalaman hidup yang sangat langka bagi kami.
Setelah badan bersih dan merasa segar kembali kami bercengkrama di serambi depan rumah sambil bercanda dan membicarakan perjalanan besok pagi menuju Baduy dalam. Tidak terasa malam sudah menyapa, dan kehidupan tanpa penerangan mulai kami rasakan. Tidak banyak aktivitas yang dilakukan penduduk pada malam hari, mereka cenderung berada di dalam rumah, karena aktivitas penduduk, terutama di ladang lebih banyak pada pagi sampai sore hari. Begitupun dengan kami, tidak banyak yang bisa kami lakukan pada malam hari karena suasana kampung yang gelap gulita, dan akhirnya kami memilih untuk beristirahat agar kondisi pulih kembali, karena besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan menuju salah satu perkampungan baduy dalam yaitu desa “Cibeo”.
Urang Kanekes desa Gazebo
Aktivitas desa Gazebo
Menikmati alam desa Gazebo dari jembatan bambu
Perjalanan hari kedua menuju desa “Cibeo”, kami mulai pukul 05.00 pagi. Perjalanan pagi memang kami pilih karena kami tidak ingin melewatkan momen mata hari terbit dari salah satu puncak bukit di wilayah desa Kanekes. Perjalanan pagi buta kami hanya ditemani cahaya senter. udara masih cukup sejuk dan sangat menyegarkan badan kami, sehingga kami tidak cepat merasa lelah naik turun bukit dengan berjalan kaki. Sekita pukul 7 pagi kami tiba dipuncak bukit untuk menikmati indahnya matahari terbit. Sebuah suasana pagi yang indah, keindahan gradasi warna langit jingga dipadu dengan gugusan bukit mampu menahan langkah kami untuk mengabadikannya. Ternyata kami tidak sendiri menikmati pagi hari itu, beberapa turis mancanegara dari Perancis dengan ditemani beberapa orang desa Kanekes ikut menikmati kesegaran dan keindahan pagi itu.
Sekitar 2 jam sudah kami habiskan untuk menikmati pemandangan indah matahari terbit, dan kami masih harus melanjutkan perjalanan 2 jam lagi berjalan kaki untuk mencapai desa “Cibeo”. Kondisi jalan setapak menuju desa “Cibeo” semakin berat kondisinya, berbatu dan berlumpur serta licin cukup menguras fisik kami. Bahkan beberapa teman harus jatuh bangun untuk menaklukan medan, tapi imajinasi naturalnya desa “Cibeo” dengan prinsip teguh budayanya mampu menguatkan langkah kami. Setelah berjalan kaki hampir 2 jam lamanya, kami mulai merasakan suasana desa “Cibeo” menyapa kami. Sebuah lahan yang khusus untuk lumbung-lumbung padi menjadi semacam pintu gerbang bahwa kami akan segera memasuki desa “Cibeo”. Memang benar, tidak lama kami berjalan kami sudah bertumu sungai dan jembatan bambu sederhana seakan mempersilahkan dengan ramah kepada kami untuk memasuki desa “Cibeo”.
Begitu menginjakkan tanah desa cibeo, kami merasakan semangat hidup masyarakat Kanekes sudah dimulai sejak kecil. Kami berpapasan dengan 3 anak kecil, dimana salah satunya masih berusia sekitar 3-4 tahun. Dalam usia balita mereka sudah memiliki semangat hidup luar biasa, meskipun hanya membantu mengambil air bersih dari sungai dengan memanggul wadah air bersih di bahunya. Sesampai di pusat desa, kami disambut sekelompok warga desa “Cibeo” dengan pakaian tradisional Baduy dalam. Mereka tengah berkumpul di depan perapian sederhana dengan periuk logam tergantuk diatasnya. Ternyata mereka adalah sekelompok warga desa “Cibeo” yang sedang ditugaskan ronda atau menjaga keamanan kampung. Melihat kedatangan kami, salah seorang dari warga mengambil satu batang bambu, yang dengan cekatannya dia membuat beberapa gelas air minum dari bambu tersebut. Namun sayangnya kami tidak bisa bercengkrama lebih lama dan mengabadikan keindahan desa “Cibeo”, karena kami harus menghargai peraturan adat untuk tidak mengambil gambar di wilayah Baduy dalam. Sebuah desa yang memiliki keindahan tersendiri, keindahan harmoni dengan alam, keindahan tradisinya dan keindahan keramahannya. Sebuah perjalanan singkat yang mampu memberikan bekas keindahan tersendiri di hati kami, dan akan selalu membuat kami rindu untuk mengunjunginya kembali meskipun dengan usaha yang cukup berat untuk mencapainya.
nah, ini cukup menggambarkan kampung dsana kaya' apa...
BalasHapuskarena fotomu sangat urut n terproses..
hehehhe,..
sip mas,..
lanjutkan ke perjalanan berikutnya,..