Minggu, 27 Juni 2010

MELASTI



"MELASTI"


Parangtritis, Yogyakarta. “Melasti ngarani angiring prewatek Dewata, anganyutaken laraning jagat, papa kiesa, letuh ing bhuwana”, itu adalah salah satu makna upacara Melasti yang tertulis di dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala, yang bermakna Melasti meningkatkan bakti kepada para dewata manifestasi Tuhan, agar diberi kekuatan untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papaklesa atau kekotoran diri dan kekotoran alam semesta. Upacara Melasti merupakan upacara yang mengawali ritual perayaan hari raya Nyepi bagi umat Hindu. Tahun ini upacara Melasti jatuh pada hari Sabtu tanggal 13 Maret 2010, mengawali ritual perayaan hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1932. Pada tahun ini saya mendapatkan kesempatan langka untuk mengikuti prosesi upacara Melasti mulai dari prosesi awal sampai akhir. Kesempatan ini ada karena kebaikan hati seorang teman umat Hindu yang mengajak sayauntukmengabadikan momen-momen upacara Melasti di Yogyakarta.

Perjalanan mengikuti proses upacara Melasti Sabtu pagi itu dimulai dari salah satu Pura yang berada di Yogyakarta. Beruntungnya saya ketika salah seorang panitia rombongan upacara Melasti, mengijinkan kami untuk mengikuti romobongan pertama yang akan menuju salah satu sumber mata air di dusun Beji untuk mengambil air sebagai bagian dari upacara Melasti.Dusun Beji berada tidak jauh dari pantai Parangtritis, letak sumber mata air yang kami tuju cukup tersembunyi. Jalan kendaraan yang berbatu tidak semulus dalam bayangan kami, yang kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri hijaunya hamparan sawah semakin memberi nilai mendalam dalam prosesi ini.

Berjalan kaki menuju sumber mata air Beji

Periuk pembawa air

Kuranglebih 30 menit kami berjalan kaki, akhirnya sampai juga di lokasi sumber mata air Beji. Lokasi yang sangat tenang dengan kesejukan dan kerindangan yang menaunginya, serta sumber mata air yang sangat jernih dan sejuk mengucur tiada henti dari bawah sebuah pohon beringin besar dan bisa dibilang pohon yang sangat tua di daerah itu. Selain kagum dengan sumber mata air yang begitu melimpah dan jernih, ada hal lain yang cukup menarik perhatian saya disini, yaitu bersandingnya dua tempat ibadah yaitu Muslim dengan adanya musholla dan tempat ibadah umat Hindu. Sebuah gambaran harmoninya umat bergama di negeri ini yang mampu bersandingan dan saling menghormati.

Prosesi doa sebelum menuju pantai Parangtritis

Periuk pembawa air siap dibawa ke pantai Parangtritis

Setelah selesai melakukan prosesi pengambilan air dan memanjatkan doa, kami langsung kembali menuju pantai Parangtritis. Di pantai itulah prosesi utama upacara Melasti dilaksanakan dan tempat berkumpulnya umat Hindu di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah berkumpul untuk melaksanakan upacara Melasti. Apa kaitan air yang di ambil dari sumber mata air di dusun Beji dengan prosesi di pantai Parangtritis? Ternyata tujuaannya adalah nunas tirtaamertha dan menghanyutkan kekotoran dunia. Melasti ngarani angiring prewatekan pralingga Ida Batara ketelengin samudera angamet tirtaamerta (tirtasanjiwani), anganyutaken laraning jagat, paklesaletuh ing bhuwana”.Artinya, umat ngiring Ida Batara kesegara mengambil Tirta Amerta dan menghanyutkan segala penderitaan umat, segala sesuatu yang menyebabkan dunia atau alam semesta ini kotor. Tirtha yang telah diambil itu kemudian digunakan dalam upacara Panca Bali Krama.

Iringan sesaji menuju tepi pantai Parangtritis

Pantai Parangtritis pada hari itu cukup panas, tapi tidak menyurutkan kekhusyukan umat Hindu untuk menjalankan prosesi upacara Melasti. Bahkan cuaca yang cukup panas itupun tidak mengurangi daya tarik upacara Melasti ini, sehingga mampu menarik perhatian banyakrekan-rekan fotografer untuk mengabadikan momen-momen suci umat Hindu, yang juga merupakan salah satu keindahan budaya Indonesia.

Suasana tepi upacara Melasti pantai Parangtritis

Kekhusyukan umat Hindu memanjatkan doa

Kamis, 24 Juni 2010

Pulau Sikuai


"PULAU SIKUAI"


Padang, Sumatera Barat. Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata Padang, Sumatera Barat? Pasti anda akan berpikir tentang beraneka ragam makanan khasnya, dan beberapa lokasi wisata yang sudah cukup tersohor, seperti Bukit Tinggi yang terkenal dengan “Jam Gadang”-nya, atau pulau Mentawai yang merupakan salah satu surga surfing bagi peselancar, bahkan mampu memikat peselancar dari seluruh penjuru dunia. Kali ini saya berbagi sedikit pengalaman mengunjungi sisi lain tujuan wisata di wilayah Padang, Sumatera Barat. Pulau Sikuai adalah tujuan kami berikutnya untuk menghabiskan waktu akhir pekan di kota Padang, Sumatera Barat. Pulau Sikuai adalah salah satu dari gugusan pulau-pulau kecil yang berada di barat kota Padang. Perjalanan ini saya lakukan bersama istri yang memiliki hoby sama dengan saya, yaitu travelling menikmati keragaman, keunikan dan keindahan tempat-tempat wisata. Perjalanan ini kami lakukan pada bulan Mei 2010.

Perjalanan ini kami rencanakan sejak hari kamis karena kami hanya memiliki waktu libur bersama pada hari sabtu dan minggu. Hal pertama yang kami lakukan untuk mengunjungi Pulau Sikuai adalah melakukan reservasi ke pengelola tempat wisata Pulau Sikuai. Kami berencana bermalam selama 1 malam disana. Reservasi bisa dilakukan melalui via telepon atau e-mail di kantor pengelola wisata Pulau Sikuai.

Hari sabtu pukul 13.00 siang kami sudah tiba di Dermaga Wisata Bahari, yang terletak di jalan Batang Arau, Padang, Sumatera Barat. Kami segera melakukan prosedur regitrasi untuk melakukan pembayaran perjalanan wisata kami, yang kemudian kami diberi nomor kamar dan tiket pulang pergi speed boat menuju Pulau Sikuai. Untuk biaya, banyak variasinya tergantung kelas pelayanan yang kita inginkan. Setelah melakukan registrasi, kami dipersilahkan menunggu pemberangkatan speed boat di dermaga yang disediakan, cukup banyak pengunjung yang akan berlibur ke Pulau Sikuai pada hari itu.

Tepat pukul 14.00 siang kami menaiki speed boat yang akan mengantarkan ke Pulau Sikuai. Speed boat yang disediakan bukan jenis kapal besar, speed boat yang tersedia hanya berkapasitas 12-15 orang dengan 2 mesin. Cuaca pada hari itu mulai berawan, kami berharap tidak akan hujan pada saat kami ditengah laut, karena waktu tempuh di tengah laut sekitar 45 menit sampai 1 jam.

Tidak berapa lama kami sudah berada di tengah laut, perjalanan yang cukup menegangkan tapi menyenangkan, karena gelombang laut pada saat itu cukup tinggi. Terkadang speed boat yg kami tumpangi seperti melayang dan terhempas ke air. Bahkan percikan air laut pun tak segan-segan masuk ke dalam kapal mengenai badan kami. Setelah puas bermain dengan gelombang dan percikan air laut hamper selama 45 menit, akhirnya kami bisa melihat dari kejauhan gugusan pulau-pulau kecil yang menyatu dengan birunya laut, sungguh pemandangan yang indah. Di salah satu gugusan pulau itulah Pulau Sikuai berada.

Pukul 15.00 sore akhirnya speed boat kami bersandar di sebuah dermaga kecil, kami segera bergegas turun dari kapal dengan membawa barang-barang kami. Kesan pertama yang kami peroleh dari Pulau Sikuai ketika turun dari kapal adalah pulau ini sangat tenang sekali. Hamparan laut biru jernih dengan riak ombaknya yang tenang, memberikan alunan suara yang mendamaikan hati. Hamparan pasir putih dan deretan pohon kelapa memberikan nuansa khas pantai yang indah. Pemandangan ini membuat kami tidak sabar untuk segera menjelajah pulau ini, karena pulau ini tidak terlalu besar untuk bisa dijelajahi hanya dengan berjalan kaki.

Tidak lama kami menikmati sejenak pandangan pertama Pulau Sikuai. Kami langsung bergegas menuju meja resepsionis untuk melakukan proses check in. Sesampai di meja resepsionis kami langsung disambut dengan jamuan minuman dingin selamat datang. Setelah selesai proses check in dan mendapatkan kunci kamar, kami langsung bergegas menuju kamar pesanan kami, sebuah pavilion panggung yang langsung menghadap pantai dengan pemandangan gugusan pulau kecil, hamparan pasir putih dan biru laut yang jernih. Sebuah view yang pas untuk liburan akhir pekan kami.

Hamparan laut biru dan gugusan pulau

Setelah beristirahat sejenak sambil menunggu waktu sholat ashar, kami segera berencana mengunjungi puncak tertinggi dari pulau ini untuk mendapatkan view luas dari hamparan laut yang mengelilingi Pulau Sikuai. Jalan menuju puncak tertinggi menurut salah satu pegawai di Pulau Sikuai yaitu dengan menaiki 300 anak tangga, wah kebayang capeknya. Tanpa pikir panjang kami langsung menaiki satu per satu dari anak tangga tersebut, dan suasana sangat sepi pada saat itu, Cuma kami berdua yang berjalan menaiki tangga menuju puncak bukit dan ternyata memang cukup melelahkan. Setalah tidak beberapa lama kami berjalan, akhirnya kami mulai bisa melihat hamparan laut lepas, tapi itu masih sebagian dari perjalanan ini dan kami belum mencapai puncak bukit. Hampir 1 jam kami berjalan kaki, akhirnya kami tiba di puncak. Waktu masih menunjukkan pukul 16.30 dan waktu sunset masih lama sedangkan awan mulai menghitam. Segera kami mengabadikan indahnya hamparan laut kedalam beberapa gambar, karena rintik hujan sudah mulai turun. Perjalanan hari pertama menikmati hamparan laut lepas dari puncak bukit Pulau Sikuai cukup memberikan kepuasan tersendiri bagi kami.

Hamparan laut lepas menjelang senja


Perjalanan hari kedua, kami mulai dari jam 06.00 pagi. Matahari baru muncul dari balik gugusan pulau dan udara pulau masih diselimuti embun. Tidak menyia-nyiakan momen indahnya mentari pagi, kami langsung bergegas berjalan ke pantai dan mencoba mengabadikannya kembali. Setelah puas bermain dengan mentari pagi, kami segera menuju restoran untuk sarapan pagi sebelum melakukan perjalanan keliling pulau.

Sambutan mentari pagi


Perjalanan keliling pulau kami tempuh hampir selama 2 jam. Selama perjalanan mengelilingi pulau, kami mendapatkan view yang silih berganti. Hamparan pasir putih, kokohnya batu-batu karang dan aktivitas nelayan pencari ikan silih berganti menyapa perjalanan kami mengelilingi Pulau Sikuai. Ini merupakan pengalaman pertama kali berjalan kaki mengelilingi sebuah pulau kecil, pengalaman yang sangat indah bagi kami.

Kokohnya pohon karang


Setelah puas berkeliling pulau dan bermain dengan birunya air laut, kami bersiap untuk melakukan perjalanan pulang kembali ke kota Padang. Tepat pukul 16.00 sore kami menaiki speed boat kembali untuk meninggalkan Pulau Sikuai menuju kota Padang. Kami berharap dan bermimpi pada suatu saat bisa mengunjungi pulau-pulau kecil lain di Indonesia yang memiliki keindahan dan keunikan di dalamnya.


Kampung Kanekes





KAMPUNG KANEKES
"sebuah catatan perjalanan"



Desa Kanekes, Banten. Perjalanan ini merupakan perjalanan keduaku menelusuri alam Kanekes (Baduy) dengan ditemani beberapa teman dari Mahasa Pecinta Alam dan Fotografi. Perjalanan pertama sudah kulakukan pada tahun 2004 bersama beberapa teman perkuliahan untuk melakukan riset singkat disana. Perjalanan kali ini merupakan perjalanan yang cukup singkat, yaitu 2 hari 1 malam. Namun perjalanan ini memberikan pengalaman yang berbeda dari perjalanan pertamaku.

Perjalananku dimulai dari stasiun Serpong untuk menuju Rangkas Bitung. Jadi kita berangkat dengan kereta jurusan Merak yang terjadwal pukul 8.30 pagi, kereta yang cukup murah (cuma Rp.4000,- per orang) tapi cukup bersih dan nyaman. Kami tiba di stasiun Rangkas Bitung sekitar pukul 10.00 pagi. Perjalanan dilanjutkan dengan angkutan umum menuju terminal “Aweh”, dan kemudian menggunakan kendaraan ELF dari terminal “Aweh” menuju desa Ciboleger, yaitu desa yang menjadi pintu gerbang memasuki desa Kanekes (Baduy). Sedikit informasi, kalau pergi ke desa Kankes secara rombongan (pada saat itu kami 14 orang) lebih baik sewa ELF secara borongan, selisih biaya tidak terlalu banyak dari bayar per orang, tapi perjalanan menuju desa Ciboleger akan lebih cepat dan nyaman karena kendaraan tidak mengambil penumpang di tengah jalan. Perjalanan menuju desa Ciboleger memakan waktu kurang lebih 1 jam.

Bercengkrama menanti kereta menuju Rangkas Bitung

Kami menginjakkan kaki di desa Ciboleger kurang lebih pukul 11.30 siang. Cuaca saat itu cukup panas dan mulai berawan, kami berharap tidak akan turun hujan, karena medan yang akan ditempuh bukan medan ringan. Setelah menurunkan semua barang dari kendaraan kami bergegas menuju rumah salah satu pemandu perjalanan kami nantinya, yaitu bang “Amir”. Dia adalah salah satu penduduk baduy luar, yang biasa mengantarkan tamu untuk menjelajah desa Kanekes (Baduy).

Sesampai di rumah bang “Amir” kami disambut dengan ramah dan dipersilahkan bersitirahat di serambi depan rumah kayunya. Suasana sejuk hutan yang menaungi desa Kanekes (Baduy) sudah dapat kami rasakan, begitu juga perut kami sudah merasakan lapar, karena sudah waktunya makan siang. Tapi kami tidak perlu khawatir kelaparan, karena banga “Amir” telah mempersiapkan hidangan makan siang ala Baduy. Menu yang sederhana (nasi+sayur+tempe+tahu+sambal khas Baduy) tdiak bertahan lama karena langsung disantap habis oleh kami. Nikmatnya menikmati hidangan sederhana ditemani kebersamaan di desa Kanekes (Baduy). Makan siang ditutup dengan minuman hangat jahe merah. Minuman jahe merah adalah salah satu minuman tradisional di desa Kanekes (Baduy) untuk memberi kehangatan dan memulihkan stamina.

Berkumpul di rumah bang "Amir"

Setelah cukup istirahat dan perut terisi, serta tidak lupa mendapatkan ijin dari salah satu pemuka adat (Jaro) kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju desa“Gazebo”, yaitu salah satu desa Baduy luar dan merupakan perbatasan antara Baduy luar dengan Baduy dalam. Perjalanan menuju desa “Gazebo” tidak kami sia-siakan untuk mengabadikan momen-momen yang kami temui sepanjang perjalanan di perkampungan Baduy luar. Karena hanya di wilayah Baduy luar sajalah kita diijinkan mengambil gambar. Kami menyusuri jalan-jalan setapak tanah dan berbatu, naik turun bukit, melewati selasar-selasar kampung dengan rumah-rumah panggung kayu sederhana yang berderet rapi dan terlihat menyatu dengan alam. Sebuah gambaran kesederhanaan hidup yang sangat indah, dan sangat jarang kita temui. Aktivitas penduduk tidak hanya dilakukan oleh usia dewasa, namun pada usia muda pun mereka sudah giat bekerja, sebuah semangat dan harmoni hidup yang sangat langka.

Memulai perjalanan menuju desa Gazebo

Salah satu sudut kampung Baduy Luar

Perjalanan menuju desa “Gazebo” memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan berjalan kaki. Sekitar pukul 14.30 sore kami sampai di desa “Gazebo”. Perjalanan 2 jam yang tidak ringan bagi kami namun akan selalu memberikan pengalaman yang tidak terlupakan. Di desa “Gazebo” inilah kehidupan sore sampai pagi akan kami nikmati. Kami mulai meminta ijin untuk tinggal di salah satu rumah penduduk selama satu malam. Setelah mendapatkan ijin untuk tinggal kami bergegas bersiap untuk membersihkan diri, disinilah kami harus bisa menyatu dengan alam, hanya ada sungai dan sumber air bersih terbuka untuk dapat kami manfaatkan membersihkan diri, lagi-lagi pengalaman hidup yang sangat langka bagi kami.

Setelah badan bersih dan merasa segar kembali kami bercengkrama di serambi depan rumah sambil bercanda dan membicarakan perjalanan besok pagi menuju Baduy dalam. Tidak terasa malam sudah menyapa, dan kehidupan tanpa penerangan mulai kami rasakan. Tidak banyak aktivitas yang dilakukan penduduk pada malam hari, mereka cenderung berada di dalam rumah, karena aktivitas penduduk, terutama di ladang lebih banyak pada pagi sampai sore hari. Begitupun dengan kami, tidak banyak yang bisa kami lakukan pada malam hari karena suasana kampung yang gelap gulita, dan akhirnya kami memilih untuk beristirahat agar kondisi pulih kembali, karena besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan menuju salah satu perkampungan baduy dalam yaitu desa “Cibeo”.

Urang Kanekes desa Gazebo

Aktivitas desa Gazebo

Menikmati alam desa Gazebo dari jembatan bambu

Perjalanan hari kedua menuju desa “Cibeo”, kami mulai pukul 05.00 pagi. Perjalanan pagi memang kami pilih karena kami tidak ingin melewatkan momen mata hari terbit dari salah satu puncak bukit di wilayah desa Kanekes. Perjalanan pagi buta kami hanya ditemani cahaya senter. udara masih cukup sejuk dan sangat menyegarkan badan kami, sehingga kami tidak cepat merasa lelah naik turun bukit dengan berjalan kaki. Sekita pukul 7 pagi kami tiba dipuncak bukit untuk menikmati indahnya matahari terbit. Sebuah suasana pagi yang indah, keindahan gradasi warna langit jingga dipadu dengan gugusan bukit mampu menahan langkah kami untuk mengabadikannya. Ternyata kami tidak sendiri menikmati pagi hari itu, beberapa turis mancanegara dari Perancis dengan ditemani beberapa orang desa Kanekes ikut menikmati kesegaran dan keindahan pagi itu.

Sunrise desa Kanekes
Berfoto sejenak setelah menikmati sunrise

Sekitar 2 jam sudah kami habiskan untuk menikmati pemandangan indah matahari terbit, dan kami masih harus melanjutkan perjalanan 2 jam lagi berjalan kaki untuk mencapai desa “Cibeo”. Kondisi jalan setapak menuju desa “Cibeo” semakin berat kondisinya, berbatu dan berlumpur serta licin cukup menguras fisik kami. Bahkan beberapa teman harus jatuh bangun untuk menaklukan medan, tapi imajinasi naturalnya desa “Cibeo” dengan prinsip teguh budayanya mampu menguatkan langkah kami. Setelah berjalan kaki hampir 2 jam lamanya, kami mulai merasakan suasana desa “Cibeo” menyapa kami. Sebuah lahan yang khusus untuk lumbung-lumbung padi menjadi semacam pintu gerbang bahwa kami akan segera memasuki desa “Cibeo”. Memang benar, tidak lama kami berjalan kami sudah bertumu sungai dan jembatan bambu sederhana seakan mempersilahkan dengan ramah kepada kami untuk memasuki desa “Cibeo”.

Jalan menuju Cibeo

Begitu menginjakkan tanah desa cibeo, kami merasakan semangat hidup masyarakat Kanekes sudah dimulai sejak kecil. Kami berpapasan dengan 3 anak kecil, dimana salah satunya masih berusia sekitar 3-4 tahun. Dalam usia balita mereka sudah memiliki semangat hidup luar biasa, meskipun hanya membantu mengambil air bersih dari sungai dengan memanggul wadah air bersih di bahunya. Sesampai di pusat desa, kami disambut sekelompok warga desa “Cibeo” dengan pakaian tradisional Baduy dalam. Mereka tengah berkumpul di depan perapian sederhana dengan periuk logam tergantuk diatasnya. Ternyata mereka adalah sekelompok warga desa “Cibeo” yang sedang ditugaskan ronda atau menjaga keamanan kampung. Melihat kedatangan kami, salah seorang dari warga mengambil satu batang bambu, yang dengan cekatannya dia membuat beberapa gelas air minum dari bambu tersebut. Namun sayangnya kami tidak bisa bercengkrama lebih lama dan mengabadikan keindahan desa “Cibeo”, karena kami harus menghargai peraturan adat untuk tidak mengambil gambar di wilayah Baduy dalam. Sebuah desa yang memiliki keindahan tersendiri, keindahan harmoni dengan alam, keindahan tradisinya dan keindahan keramahannya. Sebuah perjalanan singkat yang mampu memberikan bekas keindahan tersendiri di hati kami, dan akan selalu membuat kami rindu untuk mengunjunginya kembali meskipun dengan usaha yang cukup berat untuk mencapainya.